Memori Perjuangan Demmatande Cs di Benteng Salu Banga, Karya Sarman Sahudding

Lukisan Demmatande terbuat dari tanah liat, karya Zaenal Beta (63 tahun)

Setelah strategi dianggap matang, pada tanggal 20 Oktober 1914, tentara Belanda melancarkan serangan ke Benteng Salu Banga di bukit Paladan. Serangan ini dilakukan pada malam hari. Saat perang berlangsung, pasukan yang berada di luar benteng tidak lagi dapat masuk kembali ke benteng untuk bertahan.

Pertempuran dahsyat berlangsung selama 4 (empat) hari 4 (empat) malam. Meski kondisi lemah dengan jumlah pasukan yang minim, Demmatande tetap bertahan dan terus melayani serangan tentara Belanda. Demmatande menyerukan kepada pasukannya: pantang menyerah dan tidak kenal menyerah, baik yang ada dalam benteng maupun yang di luar benteng.

Di luar benteng, salah seorang pasukan yang bernama Poko’, yang akan menyuplai bahan makanan ke dalam benteng kena tembak dan meninggal di tempat. Praktis, pertahanan di luar benteng telah mampu diporakporanda oleh tentara Belanda, lalu dengan begitu pasukan Belanda secara perlahan berhasil menembus pertahanan Benteng Salu Banga.

Dari 30 (tiga puluh) pasukan Demmatande di dalam benteng, 24 (dua puluh empat) orang tertembak mati, termasuk Demmatande bersama istrinya dan salah seorang anak angkatnya yang bernama Tandi Gego. Tandi Gego’ saat itu baru berumur 10 tahun. Diketahui, ia adalah adik Lento Langi’ Paotonan.

Peristiwa itu terjadi tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1914. Di pihak Belanda, diperkirakan sekitar 170 orang tentara yang tewas di sekitar dan di dalam Benteng Salu Banga. Atas korban yang meninggal itu, sebagian dimakamkan di sekitar benteng dan selebihnya dimakamkan di Pekuburan Marsosei di Banggo, Mamasa, dan ada juga yang dibawa ke Polewali untuk dimakamkan di sana.

Pos terkait